Selasa, 12 November 2013

MANAQIB KH. AHMAD ASRORI BIN UTSMAN AL-ISHAQI






KH. Ahmad Asrori al-Ishaqi merupakan putera dari KH. Utsman al-Ishaqi. Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdirilah Pondok Pesantren al-Fithrah. Beliau adalah yang mengasuh Pondok Pesantren al-Fithrah, tepatnya di Kelurahan Kedinding Lor Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya.

Latar Belakang Keluarga

Nama al-Ishaqi dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena KH.Utsman masih keturunan Sunan Giri. Semasa hidup, KH. Utsman adalah mursyid Thari qah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, Thariqah Naqsyabandiyah dikenal sebagai thariqah yang penting dan memiliki penyebaran paling luas. Cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan China di belahan timur. Sepeninggal KH. Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung KH. Utsman, KH. Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan KH. Asrori berawal dari sini.

Nasab KH. Asrori

Jika dirunut, KH. Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah Saw., baik dari jalur ayah maupun ibu. Dari jalur ayah beliau adalah keturunan Sunan Gunung Jati, sedangkan dari jalur ibu adalah keturunan Maulana Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri. Namun catatan nasab beliau yang sudah beredar luas hanyalah yang dari jalur ibu. Berikut ini silsilahnya:

Ahmad Asrori al-Ishaqi bin Muhammad Utsman bin Surati binti Abdullah bin Mbah Deso bin Mbah Jarangan bin Ki Ageng Mas bin Ki Panembahan Bagus bin Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana bin Panembahan Agung Sido Mergi bin Pangeran Kawis Guo bin Fadhlullah Sido Sunan Prapen bin Ali Sumodiro bin Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri bin Maulana Ishaq bin Ibrahim al-Akbar bin Ali Nurul Alam bin Barakat Zainul Alam bin Jamaluddin al-Akbar al-Husain bin Ahmad Syah Jalalul Amri bin Abdullah Khan bin Abdul Malik bin Alawi bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa an-Naqib ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib suami Fathimah az-Zahra binti Rasulullah Saw.

Keistimeaan KH. Asrori Nampak Sejak Muda

KH. Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya.

Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda KH. Asrori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan. Mondoknya tak teratur, ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, KH. Mustain Romli, ia seperti memaklumi: “Biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.”

Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan, KH. Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ ‘Ulumiddin karya Imam al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut ilmu laduni.

Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika KH. Utsman pernah berkata: “Seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.”

Barangkali itulah yang mendasari KH. Utsman untuk menunjuk KH. Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Thariqah Qadiriyah wa Nasyabandiyah padahal saat itu usia KH. Asrori masih relatif muda, yaitu sekitar 30 tahun.

Tanda-tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jamaahnya rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, KH. Asrori adalah tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari kalangan sipil maupun militer.

Meneruskan Estafet Kemursyidan dalam Usia Muda

Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara mudah. Banyak pengikut KH. Utsman yang menolak mengakui KH. Asrori sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk melakukan baiat kepada KH. Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana sikap KH. Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai Arori tak surut.

Ia mendirikan pesantren al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning.

Ia juga menggagas al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi sosial manapun. Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara, majelis-majelis yang diselenggarakan al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani. KH. Asrori seolah menyediakan al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit luarnya.

Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, KH. Asrori terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia bayangkan.

Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.

Menuai Sukses dalam Dakwah

Di tangan KH. Asrori inilah jamaah yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah sebagai mursyid menggantikan sang ayah, KH. Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu itu.

Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid. Secara perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia beli, sehingga luasnya mencapai 2,5 hektar lebih.

Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus. Akan tetapi KH. Asrori mencegahnya: “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi.” Ujar beliau.

Di atas lahan seluas 2,5 hektar itu berdirilah Pondok Pesantren al-Fithrah dengan ratusan santri putera dan puteri dari berbagai pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri serta bangunan masjid yang cukup besar.

Keberhasilan KH. Asrori boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, disamping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat kepada KH. Asrori tidak lagi terbatas pada masyarakat awam yang telah berusia lanjut, akan tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama. Jamaahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan thariqah.

Jamaah beliau tersebar meluas ke berbagai penjuru negeri. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya cabang al-Khidmah yang dipimpinnya seperti di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Hong Kong, Australia, dan banyak negara yang lainnya.

Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, KH. Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.

Kewafatan KH. Asrori Al-Ishaqi

KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi wafat pada hari Selasa, 26 Sya’ban 1430 H bertepatan dengan 18 Agustus 2009 pukul 02:20 WIB. Meninggalnya KH. Asrori sungguh mengagetkan banyak orang khususnya jamaah al-Khidmah dan warga Nahdliyin. Kepergiannya untuk menghadap Sang Khalik membuat ribuan jamaahnya merasakan duka mendalam dan meneteskan air mata.

Mendengar kabar kewafatan KH. Ahmad Asrori al-Ishaqi, ribuan pelayat langsung mendatangi ponpes yang tidak jauh dari Jembatan Suramadu. Sejak pagi kawasan itu dipenuhi oleh pelayat. Ini berpengaruh pada akses masuk ke jalan itu. Kemacetan pun terasa di Jalan Kenjeran, Rangkah hingga ke Jalan Kedung Cowek. Polisi lalu lintas Surabaya Timur terlihat sibuk mengatur arus lalu lintas.

Saat dilangsungkan prosesi pemakaman di komplek pondoknya, umat Islam menyemut dan melantunkan kalimah thayyibah. Tak ketinggalan karangan duka cita dari banyak tokoh nasional, Jatim dan Surabaya dikirimkan ke rumah duka. Diantaranya karangan bunga dari Presiden SBY, Menteri Agama Maftuh Basyuni, Gubernur Jatim Soekarwo, Kapolda Jatim Irjen Pol. Anton Bahrul Alam, Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono, Wakil Wali Kota Surabaya Arief Afandi, dan pejabat lainnya.

KH. Asrori al-Ishaqi dikenal sebagai kiai NU yang istiqamah bergerak di bidang sosial kemasyarakatan terkait peran kiai melalui kanal thariqah. KH. Asrori tak tergerus dalam gerakan kemasyarakatan di ranah politik praktis sebelum maupun pasca reformasi. Jamaah thariqah terus dibina dan digerakkan ke tataran umat dalam konteks memberikan bekal moral spiritual kepada umat Muhammad Saw.

Fatwa dan pandangannya sangat dihormati serta dipatuhi ummat. NU sangat kehilangan sepeninggal beliau. Dunia thariqah terus digeluti dan dijalankan dengan istiqamah. Itu salah satu amalan penting NU dan menjadi pembeda NU dengan ormas Islam lainnya.

KH. Asrori meninggalkan seorang istri, Hj. Sulistyowati, dan 5 anak, yakni Siera Annadia, Sefira Assalafi, Ainul Yaqien, Nurul Yaqien dan Siela Assabarina.

Sebelumnya, sejak 29 Juli sampai 16 Agustus 2009, KH. Asrori sempat menjalani perawatan medis di Graha Amerta RSU dr Soetomo Surabaya dan beliau juga sempat menjalani operasi dan check up di Singapura. KH. Asrori mengidap kanker dan komplikasi penyakit lainnya.

KH. Asori wafat dalam usia 58 tahun. Namun berdasar pengakuan salah seorang kerabat yang biasa mengurus paspor, KH. Asrori memiliki 3 paspor dengan tanggal lahir berbeda. Tapi diperkirakan KH. Asrori lahir pada tanggal 17 Agustus 1951.

Prosesi pemakaman KH. Ahmad Asrori al-Ishaqi diwarnai adu dorong santri dan petakziyah. Mereka berebut agar bisa menyentuh keranda jenazah kiai kharimastik itu. Para panitia prosesi pemakaman kewalahan menahan aksi saling dorong antara santri dan para pelayat. Panitia meminta kepada santri dan petakziyah untuk kembali duduk sambil membacakan dzikir dan tahlil. Usai dishalati, jenazah KH. Ahmad Asrori al-Ishaqi akhirnya dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren al-Fithrah.

Lahu al-Fatihah…






Sumber : Gus Sya’roni As-Samfuriy

Senin, 11 November 2013

SEJARAH PERJALANAN HIDUP KH.A. DJAZULI USTMAN

SANG BLAWONG PEWARIS KELUHURAN






Dialah Mas’ud, yang mendapat julukan Blawong dari KH. Zainuddin. Kelak dikemudian hari ia lebih dikenal dengan nama KH. Achmad Djazuli Utsman, pendiri dan pengasuh I Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri.

Diam-diam KH. Zainuddin memperhatikan gerak-gerik santri baru yang berasal dari Ploso itu. Dalam satu kesempatan, sang pengasuh pesantren bertemu Mas’ud memerintahkan untuk tinggal di dalam pondok.
“Co, endang ning pondok!”
“Kulo mboten gadah sangu, Pak Kyai.”
“Ayo, Co…mbesok kowe arep dadi Blawong, Co!”
Mas’ud yang tidak mengerti apa artinya Blawong, hanya diam saja. Setelah tiga kali meminta, barulah Mas’ud menurut perintah Kyai Zainuddin untuk tinggal di dalam bilik pondok. Sejak itulah, Mas’ud kerap mendapat julukan Blawong.
Ternyata Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Si Blawong itu dipelihara dengan mulia di istana Kerajaan Bawijaya. Alunan suaranya mengagumkan, tidak ada seorang pun yang berkata-kata tatkala Blawong sedang berkicau, semua menyimak suaranya. Seolah burung itu punya karisma yang luar biasa.

Ia lahir di awal abad XIX, tepatnya tanggal 16 Mei 1900 M. Ia adalah anak Raden Mas M. Utsman seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan). Sebagai anak bangsawan, Mas’ud beruntung, karena ia bisa mengenyam pendidikan sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.

Belum lama Mas’ud menempuh pendidikan di STOVIA, tak lama berselang Pak Naib, demikian panggilan akrab RM Utsman kedatangan tamu, KH. Ma’ruf (Kedunglo) yang dikenal sebagai murid Kyai Kholil, Bangkalan (Madura).
“Pundi Mas’ud?” tanya Kyai Ma’ruf.
“Ke Batavia. Dia sekolah di jurusan kedokteran,” jawab Ayah Mas’ud.
“Saene Mas’ud dipun aturi wangsul. Larene niku ingkang paroyogi dipun lebetaken pondok (Sebaiknya ia dipanggil pulang. Anak itu cocoknya dimasukan ke pondok pesantren),” kata Kyai Ma’ruf.

Mendapat perintah dari seorang ulama yang sangat dihormatinya itu, Pak Naib kemudian mengirim surat ke Batavia meminta Mas’ud untuk pulang ke Ploso, Kediri. Sebagai anak yang berbakti ia pun kemudian pulang ke Kediri dan mulai belajar dari pesantren ke pesantren yang lainnya yang ada di sekitar karsidenan Kediri.
Mas’ud mengawali masuk pesantren Gondanglegi di Nganjuk yang diasuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, khususnya tajwid dan kitab Jurumiyah yang berisi tata bahasa Arab dasar (Nahwu) selama 6 bulan.

Setelah menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud yang dikenal sejak usia muda itu gemar menuntut ilmu kemudian memperdalam pelajaran tashrifan (ilmu Shorof) selama setahun di Pondok Sono (Sidoarjo). Ia juga sempat mondok di Sekarputih, Nganjuk yang diasuh KH. Abdul Rohman. Hingga akhirnya ia nyantri ke pondok yang didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari, Nganjuk dan pada waktu itu diasuh oleh KH. Zainuddin.
KH. Zainuddin dikenal banyak melahirkan ulama besar, semacam KH. Wahhab Hasbullah (Pendiri NU dan Rais Am setelah KH. Hasjim Asy’ari), Mas’ud yang waktu itu telah kehabisan bekal untuk tinggal di dalam pondok kemudian mukim di langgar pucung (musala yang terletak tidak jauh pondok).

Selama di Pondok Mojosari, Mas’ud hidup sangat sederhana. Bekal lima rupiah sebulan, dirasa sangat jauh dari standar kehidupan santri yang pada waktu rata-rata Rp 10,-. Setiap hari, ia hanya makan satu lepek (piring kecil) dengan lauk pauk sayur ontong (jantung) pisang atau daun luntas yang dioleskan pada sambal kluwak. Sungguh jauh dikatakan nikmat apalagi lezat.
Di tengah kehidupan yang makin sulit itu, Pak Naib Utsman, ayah tercinta meninggal. Untuk menompang biaya hidup di pondok, Mas’ud membeli kitab-kitab kuning masih kosong lalu ia memberi makna yang sangat jelas dan mudah dibaca. Satu kitab kecil semacam Fathul Qorib, ia jual Rp 2,5,-(seringgit), hasil yang lumayan untuk membiayai hidup selama 15 hari di pondok itu.

Setelah sempat mondok di Mojosari, Mas’ud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu langsung di Mekkah. H. Djazuli, demikian nama panggilan namanya setelah sempurna menunaikan ibadah haji. Selama di tanah suci, ia berguru pada Syeikh Al-‘Alamah Al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, ia di sana tidak begitu lama, hanya sekitar dua tahun saja, karena ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Wahabi pada tahun 1922 yang diprakasai Pangeran Abdul Aziz As-Su’ud.

Di tengah berkecamuknya perang saudara itu, H. Djazuli bersama 5 teman lainnya berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah. Sampai akhirnya H. Djazuli dan kawan-kawannya itu ditangkap oleh pihak keamanan Madinah dan dipaksa pulang lewat pengurusan konsulat Belanda.

Sepulang dari tanah suci, Mas’ud kemudian pulang ke tanah kelahirannya, Ploso dan hanya membawa sebuah kitab yakni Dalailul Khairat. Selang satu tahun kemudian, 1923 ia meneruskan nyantri ke Tebuireng Jombang untuk memperdalam ilmu hadits di bawah bimbingan langsung Hadirotusy Syekh KH. Hasjim Asya’ri.
Tatkala H. Djazuli sampai di Tebuireng dan sowan ke KH. Hasjim Asya’ri untuk belajar, Al-Hadirotusy Syekh sudah tahu siapa Djazuli yang sebenarnya, ”Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.” H. Djazuli kemudian mengajar Jalalain, bahkan ia kerap mewakili Tebuireng dalam bahtsul masa’il (seminar) yang diselenggarakan di Kenes, Semarang, Surabaya dan sebagainya.

Setelah dirasa cukup, ia kemudian melanjutkan ke Pesantren Tremas yang diasuh KH. Ahmad Dimyathi (adik kandung Syeikh Mahfudz Attarmasiy). Tak berapa lama kemudian ia pulang ke kampung halaman, Ploso. Sekian lama Djazuli menghimpun “air keilmuan dan keagamaan”. Ibarat telaga, telah penuh. Saatnya mengalirkan air ilmu pegetahuan ke masyakrat.
Dengan modak tekad yang kuat untuk menanggulangi kebodohan dan kedzoliman, ia mengembangkan ilmu yang dimilikinya dengan jalan mengadakan pengajian-pengajian kepada masyarakat Ploso dan sekitarnya. Hari demi hari ia lalui dengan semangat istiqamah menyiarkan agama Islam.

Hal ini menarik simpati masyakarat untuk berguru kepadanya. Sampai akhirnya ia mulai merintis sarana tempat belajar untuk menampung murid-murid yang saling berdatangan. Pada awalnya hanya dua orang, lama kelamaan berkembang menjadi 12 orang. Maka dengan ucapan Bismillah dan bekal Tawakal dibentuknya sebuah Madrasah. Surat permohonan kepada pemerintah Belanda untuk lembaga baru yang kemudian dikenal dengan nama Al Falah itu tertanggal 1 Januarai 1925. Dibangunanlah Madrasah berlokasi didepan Masjid dan terdiri dari 2 lokal itu terkenal dengan sebutan Madrasah Abang (Madrasah Merah),disebabkan lantainya dari batu bata merah karena dananya terjangkau. Peristiwa itu pada tahun 1927, konon Hadratus Syaikh Hasyim As'ari berkenan hadir pada acara tasyakuran pembangunan Madrasah tersebut. Pada tahun 1928 dibangun pondok pertama diberi nama pondok D (Darussalam) yang disusul tahun berikutnya dibangun pondok C (Cahaya).

Hingga pada akhir tahun 1940-an, jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 santri dari berbagai pelosok Indonesia.
Pada jaman Jepang, ia pernah menjabat sebagai wakil Sacok (Camat). Di mana pada siang hari ia mengenakan celana Goni untuk mengadakan grebegan dan rampasan padi dan hasil bumi ke desa-desa. Kalau malam, ia gelisah bagaimana melepaskan diri dari paksaan Jepang yang kejam dan biadab itu.

Kekejaman dan kebiadaban Jepang mencapai puncaknya sehingga para santri selalu diawasi gerak-geriknya, bahkan mereka mendapat giliran tugas demi kepentingan Jepang. Kalau datang waktu siang, para santri aktif latihan tasio (baris berbaris) bahkan pernah menjadi Juara se-Kecamatan Mojo. Tapi kalau malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang. Demikian pula setelah Jepang takluk, para santri kemudian menghimpun diri dalam barisan tentara Hisbullah untuk berjuang.
Selepas perang kemerdekaan, pesantren Al-Falah baru bisa berbenah. Pada tahun 1950 jumlah santri yang datang telah mencapai 400 santri. Perluasan dan pengembangan pondok pesantren, persis meniru kepada Sistem Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba Kyai Djazuli selama mondok di sana.

Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman dikenal istiqomah dalam mengajar kepada santri-santrinya. Saat memasuki usia senja, Kyai Djazuli mengajar kitab Al-Hikam (tasawuf) secara periodik setiap malam Jum’at bersama KH. Abdul Madjid dan KH. Mundzir. Bahkan sekalipun dalam keadaan sakit, beliau tetap mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya. Riyadloh yang ia amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu. Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum” ,katanya berulangkali kepada para santri.

Pasangan KH.Djazuli dengan Ibu Nyai Rodliyah dikaruniai 8anak putra dan 3anak putri:
1. Siti Azizah (meninggal diusia 1thn)
2. Hadziq (meninggal diusia 9bln)
3. KH.A.Zainuddin Djazuli
4. KH.Nurul Huda Djazuli
5. KH.Hamim Djazuli ( Alm.GUS MIEK )
6. KH.Fuad Mun'im Djazuli
7. Mahfudz (meninggal diusia 3thn)
8. Makmun (meninggal diusia 7bln)
9. KH.Munif Djazuli (Alm)
10. Ibu Nyai Hajjah Lailatul Badriyah Djazuli
11. Su'ad (meninggal diusia 4bln)

Hingga akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil sang Blawong kehadapan-Nya, hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H). Ribuan umat mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan ulama itu di sebelah masjid kenaiban, Ploso, Kediri.
Konon, sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat jelang kematian KH. Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah berduka dengan kepergian ‘Sang Blawong’ yang mengajarkan banyak keluhuran dan budi pekerti kepada santri-santrinya itu.

~ Menuju HAUL yang ke 34 Tanggal 12 November 2013 ~
~ Al Fatehah...Aamiin...

Sumber : Buku Biografi "KH A.DJAZULI UTSMAN Sang Blawong pewaris keluhuran"


Minggu, 10 November 2013

Simbah KH. Mahfudh Siddiq (Rodliyallahu anhu)

Simbah KH. Mahfudh Siddiq (Rodliyallahu anhu):


Bagi kami beliau adalah sosok yang alim allamah. Pahlawan yang senantiasa menerangi jalan hidup kami melalui ilmu-ilmunya. Dulu (dimadrasah Matholi'ul Falah Kajen) kami diajar oleh beliau ilmu nahwu. Tepatnya memakai kitab Alfiyah. Disaat mengajar beliau tidak pernah membaca atau membawa kitab. Seolah bait alfiyah sebanyak seribu dua bait itu semuanya sudah melekat dalam ingatan beliau beserta syarah penjelasannya. Bahkan beliau hafal sampai dimana pelajaran kami, padahal waktu itu seangkatan ada sekitar 4 kelas. lha kami saja lupa sampai dimana pelajaran kami, saking malasnya. Namun tidak bagi beliau, sewaktu masuk kelas beliau langsung memulai dengan bacaan basmalah serta langsung melantunkan bait pelajaran kami.

Tawadlu'. Itulah sifat beliau, tatkala kami meminta do'a senantiasa beliau jawab tadi subuh kan sudah berdo'a qunut sendiri. Jika salaman beliau tidak berkenan untuk dicium tangan beliau. Tidak kerso merepotkan orang lain. Selama mengajar beliau mengayuh sepeda sendiri tanpa mau diantar oleh putra beliau. Padahal usia beliau sudah sepuh. hanya beberapa tahun terakhir akhirnya beliau berkenan untuk diantar dengan menggunakan motor, lantaran kesehatan beliau sudah semakin menurun. Dan meski usia beliau semakin sepuh dan serta kesehatan beliau semakin menurun, bahkan sakit-sakitan beliau tetap mendidik santri. Beliau selalu menolak dan marah apabila beliau diminta untuk istirahat dari mengajar di madrasah oleh putra putrinya. Bagi beliau mengajar sudah menjadi hukum fardhu ain yang tidak bisa ditinggalkan sampai akhir hayat.

Sedikit bicara. itu diantara kemuliaan yang kami ingat dari beliau. Beliau tidak pernah mengeluarkan kalimat yang dirasa kalimat tersebut tidak memiliki manfa'at. Sebuah laku hidup yang sangat sulit. Lebih banyak diam daripada mengumbar perkataan yang tidak penting. Sebuah teladan bagi kami akan praktek dari ayat:
( مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ )

Sebuah teladan yang tanpa menggurui dan senantiasa mengingatkan secara tidak langsung bahwa perkataan yang keluar dari lisan kita tidak lepas dari pantauan malaikat Roqib dan Atid. Jadi bukanlah hanya tutur lisan yang beliau ajarkan kepada kami melalui ilmu-ilmu beliau, melainkan juga tutur laku sebagai teladan langsung, sehingga bisa kita lihat serta rasakan langsung bagaimana menjalani hidup itu.

Diantara dawuh-nya beliau sebagaimana yang diriwayatkan oleh putra beliau gus nuril adalah sebagai berikut: "uplike/lampune ojo dipateni ngko dak peteng. Nek lg wiridan ojo karo ngombe tp nunggu sktr 1jam lg oleh ngumbe, sebab wiridan iku minongko uplik/lampu ono neng akhirat nek mbuk ombeni uplike/lampune ngko yo mati."

Bagi kami beliau adalah pahlawan sejati. Yang tidak mati walaupun jasadnya sudah dikebumikan. Kami berhusnudlon billah bahwa beliau adalah termasuk bagian dari HambaNya yang sholih. dan termasuk bagian dari hadits:
من حسن إسلام المرء تركه مالا يعنيه
wallahu a'la wa a'lam...
lana wa lahul fatihah....



Sumber :  Pak Taufiq Zubaidi